Tuesday, September 9, 2014

Ekonomi Mandiri Indonesia Part 1

free counters





Halo agan dan sista…..SELAMAT PAGI SEMUANYA…. :) masih pada semangat kan pada pagi hari ini saya ingin membahas perihal kemandirian ekonomi bangsa sebuah topik yang luas dan mencangkup seluruh aspek namun perlu agan dan sista ketahui topik ini sangat perlu kita bahas secara spesifik dan struktur.

Seperti yang agan dan sista ketahui pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini yang dilansir oleh pak presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai berikut “"Alhamdulillah ekonomi Indonesia, oleh World Bank, ditetapkan sebagai ekonomi nomor sepuluh di dunia," kata SBY saat meresmikan Rajawali Televisi di Jakarta Convention Center, Sabtu, 3 Mei 2014.

Menurut SBY, peringkat ekonomi Indonesia tahun ini berada di bawah sembilan negara, yakni Amerika Serikat, Cina, India, Jepang, Jerman, Rusia, Brasil, Prancis, dan Inggris. "Tentu ini awal yang baik," ujar mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan ini.

Namun, dia menambahkan, jalan Indonesia untuk menjadi negara maju masih panjang. "Masih banyak yang harus kita benahi, masih banyak permasalahan yang harus                                                kita atasi, di sana-sini masih ada kekurangan kita," ucap SBY ( sumber : http://www.tempo.co/read/news/2014/05/04/087575194/Peringkat-Ekonomi-Indonesia-Masuk 10-Besar-Dunia )
Menurut pak sby dalam acara peresmian stasiun rajawali televisi saat di singgung perihal permasalahan ekonomi indonesia Pak Susilo Bambang Yodhoyono berkata segala permasalahan ini bisa diatasi jika semua elemen bangsa memiliki sikap optimistis. "Kalau di antara kita mengatakan, 'Ah, mana bisa Indonesia?' Ubahlah sikap dan pemikiran itu, insya Allah Indonesia bisa," kata SBY. 

Nah berdasarkan pemberitaan diatas saya tertarik untuk mengulas perkembangan ekonomi Indonesia pada tahun 2014 ini. Seperti yang agan dan sista ketahui Tujuan akhir suatu Negara yaitu dapat memiliki perekonomian yang stabil dan tumbuh secara berkelanjutan yaitu  merupakan bagian dari hasil atas segala kebijakan baik fiskal, moneter, maupun struktural di setiap negara. 

Sebuah pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan dan berkembang secara signifikan sering dikaitkan dengan kondisi yang mampu menciptakan nilai tambah bagi suatu bangsa atas perkembangan  bangsa di kancah internasional. 

Seperti yang kita ketahui faktor – faktor kemajuan tersebut sangat erat hubungannya dengan karakter dan jati diri suatu bangsa untuk memiliki bargaining position yang kuat di kancah dunia internasional. Sebuah Negara agar mendapatkan bargaining position tersebut salah satunya dapat diperoleh dengan jalan kemandirian ekonomi yang telah dianut oleh Negara kita.

Dalam salah satu diskusi, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dan Komisaris Independen Bank Rakyat Indonesia (BRI) Avilliani SE, Msi mengatakan bahwa suatu bangsa dapat dikatakan memiliki jati diri dan karakter yang kuat apabila memiliki kemandirian ekonomi. Kemandirian ekonomi sendiri diartikan sebagai sebuah kondisi bangsa untuk memiliki ketahanan ekonomi terhadap berbagai macam krisis dan tidak bergantung pada negara lain. 

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Aviliani dalam Dialog Publik Penguatan Ketahanan Sosial Masyarakat Menghadapi Tantangan yang digelar atas kerjasama UIN Jakarta dan Kementerian Komunikasi dan Informatika di Auditorium Utama, Selasa, (30/3). Hadir dalam kesempatan tersebut, Rektor Prof Dr Komaruddin Hidayat, Kepala Badan Informasi Publik Kementrian Komunikasi dan Informasi (BIP Kominfo) Drs Freddy H Tulung MUA, dan dosen Departemen Filsafat Universitas Indonesia (UI) Dr Donny Gahral Adian.

Menurut Aviliani, Indonesia memiliki banyak potensi yang harus dikembangkan untuk menggerakkan perekonomian nasional, baik Sumber Daya Alam (SDA) maupun SDM.  “Apabila potensi yang ada ini dioptimalkan, saya yakin kita bisa lebih maju dari sekarang dan mandiri secara ekonomi. Pasar kita luar biasa mencapai 200 juta jiwa lebih,” tandasnya.

Di bidang SDA, Aviliani berucap bahwa Indonesia unggul di bidang agroindustri dan sektor riil. Namun, ia menyayangkan rendahnya political will baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Padahal, pertanian menjadi penyedia lapangan kerja terbesar, mencakup 40 persen dari total angkatan kerja. “Di sisi lain, daya saing produk kita sangat lemah. Kita hanya mengekspor barang mentah dan mengimpor barang setengah jadi. Di sini kita seolah-olah tidak memiliki identitas. Kita hanya dijadikan pasar negara maju,” terangnya.

Ibu Aviliani ini menambahkan, jati diri bangsa Indonesia sedikit terangkat karena berhasil melewati krisis ekonomi global dengan baik serta sejajar dengan RRC dan India melalui pertumbuhan ekonomi yang positif.
“Setidaknya ada dua alasan utama kita sukses melewati krisis. Masyarakat Indonesia masih menyisihkan sebagian uangnya untuk menabung di bank, dan 80 persen ekonomi kita berada di sektor riil. Berbanding terbalik dengan negara maju yang berkutat pada kredit dan mekanisme pasar,” ujarnya.

Namun, Aviliani memperingatkan jika ekonomi Indonesia berada dalam bubble economy. Semakin lama, mekanisme pasar semakin berlaku. Pasar uang sedang menggeliat. IHSG Indonesia berada di nomor dua di dunia setelah China. Sektor ekonomi unggulan sebagian besar dikuasai asing termasuk perbankan. “Jika dibiarkan, bubble economy ini akan pecah dan kita bisa terpuruk lagi seperti krisis 1998,” imbuhnya.

Untuk meningkatkan jati diri dan kemandirian ekonomi bangsa, Aviliani memberikan tiga solusi agar ekonomi bangsa Indonesia lebih maju. Tiga solusi itu adalah efisiensi, ekspansi, dan penetrasi pasar. “Uang APBN dan APBD harus dikeluarkan dengan prinsip efisiensi, perusahaan BUMN harus melakukan ekspansi pada sektor strategis dan menasionalisasi seperti migas serahkan saja ke Pertamina. BUMN dan swasta lokal harus melakukan penetrasi pasar agar pasar kita tidak direbut negara lain,” katanya

Dalam pemaparan yang di jelaskan oleh ibu Aviliani yang merupakan pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dan Komisaris Independen Bank Rakyat Indonesia (BRI) Penting untuk dicatat dalam konteks tidak bergantung kepada negara lain bukan berarti sebuah statement yang menunjukkan anti-asing. 

Sebuah sikap kemandirian dipandang sebagai sebuah langkah untuk menciptakan perekonomian yang tahan terhadap krisis dan mampu untuk meredam goncangan perekonomian global, serta menciptakan kondisi ekonomi yang saling tidak bergantung sepenuhnya pada negara lain.

Dimana dalam pernyataan ibu Aviliani sebagai berikut “Namun, Aviliani memperingatkan jika ekonomi Indonesia berada dalam bubble economy. Semakin lama, mekanisme pasar semakin berlaku. Pasar uang sedang menggeliat. IHSG Indonesia berada di nomor dua di dunia setelah China. Sektor ekonomi unggulan sebagian besar dikuasai asing termasuk perbankan. “Jika dibiarkan, bubble economy ini akan pecah dan kita bisa terpuruk lagi seperti krisis 1998,” imbuhnya.” 

Dimana sudah diketahui oleh public dimana sector – sector ekonomi unggulan di Indonesia telah dikuasai oleh Pihak Asing termasuk dalam sector perbankan. Dan keadaan ekonomi Indonesia saat ini dalam keadaan bubble economy dan apabila keadaan ekonomi ini kembali pecah seperti di tahun 1998 dimana para investor asing menarik dana investasinya yang dimana mengakibatkan perekonomian Indonesia mengalami kemunduran dan pada akhirnya terjadi krisis ekonomi dan kerusuhan dimana-mana.

Maka penulis melemparkan pertanyaan kepada para agan dan sista yaitu : APAKAH AGAN DAN SISTA MENGINIGINKAN KEJADIAN TERSEBUT TERULANG KEMBALI ???

Apabila agan dan sista menjawab tidak ingin terjadi kembali keadaan ekonomi tersebut maka hal yang perlu dilakukan saat ini adalah kemandirian ekonomi nasional secara menyeluruh. mengingat selama Negara Indonesia ini berdiri belum menunjukkan adanya transformasi ekonomi secara struktural. Tak hanya itu, dapat kita lihat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mampu tumbuh diatas rata rata global dianggap sebagai momentum yang tepat guna menciptakan kemandirian ekonomi.
Profesor Sarbini Sumawinata (1983), berkata :

”Sejarah ekonomi kita adalah sejarah tanpa perubahan.” Pernyataan demikian memang sangat satir dan terkesan hiperbolis. Namun, apabila dikaji secara mendalam, perkembangan perekonomian Indonesia sejak kemerdekaan hingga reformasi saat ini belum menunjukkan perubahan yang berarti.

Menelisik pernyataan Profesor Sarbini Sumawinata diatas maka dapat kita ambil kesimpulan  bahwa sejarah pertumbuhan ekonomi kita berjalan dengan statis, dan belum terdapat perubahaan yang berarti atau dapat kita sebut pertumbuhan ekonomi kita berjalan dengan sangat dinamis. Dan seperti agan dan sista ketahui beberapa kali Negara kita melalui gelombang dinamika sejarah perekonomian yaitu 3 kali mengalami krisis ekonomi dimana Negara ini selalu kembali ke titik semula. 

Kenapa saya mengatakan perekonomian Negara kita ini kembali lagi ke titik semula. Karena saya tidak melihat ada perubahan yang signifikan terhadap sistem ekonomi kita terutama agan dan sista dapat  melihat  pada pembangunan ekonomi yang berorientasi pada kemakmuran rakyat banyak seperti yang tercantum pada pasal 33 UUD 1945  ayat 1 sd 5 

Pembangunan ekonomi yang berbasiskan kemakmuran rakyat kini mengalami penurunan terutama pada pasal 33 ayat 2 ; 3  & 4 yang berbunyikan 

Pasal 33 ayat 2 :
Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.

Pasal 33 ayat 3 :
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pasal 33 ayat 4 :
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Dimana pada saat ini perkembangan ekonomi nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi dengan prinsip kebersamaan, efisien berkeadilan, berkelenajutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional serta dimana harus memperhatiakan aspek cabang – cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak yang dimaksud oleh pasal diatas kini sepertinya tidak berlaku pada 3 periode pemerintahan karena selama 3 periode pemerintahan seperti yang diketahui oleh agan dan sista telah banyak Perusahaan BUMN yang telah dijual ke Pihak – pihak asing dan Pihak – pihak swasta melalui sistem IPO (Initial Public Offering).

Salam Perubahan
Arief Tri Setiaji, S.E
Kajian Pustaka :
Anoraga, Panji. (1995). BUMN, Swasta dan Koperasi : Tiga Pelaku Ekonomi. Jakarta: PT Dunia Pustaka jaya.
Ceachern, William A. (2001). Ekonomi Makro. Jakarta: PT Salemba Empat.
Moeljono, Djokosantoso. (2004). Reinvesi BUMN.. Jakarta : PT Elex Media Komputindo
Musthofa, Chabib (2007). Diktat Mata Kuliah Studi Pembangunan. Surabaya : IAIN Sunan Ampel Surabaya.
_____. (2002). Penjualan PT Indosat. [Online]. Tersedia:  http://www.gatra.com/2002-12-23/versi_cetak.php?id=23424 [1 November 2010].
 

Share:

0 komentar:

Total Pageviews

Yuk Mari kita Sharing ^_^

a href='http://fcgadgets.blogspot.com'>Blogger Gadgets
Powered by Blogger.

Salam Akuntan Muda

Berpikirlah secara Positif
Ubahlah Pemikiran - pemikiran negatif dalam Kehidupan Anda menjadi Pemikiran - Pemikiran yang selalu Positif dan Memiliki Arah dan Tujuan
Tersenyum & Tebarkan Kebahagian Kepada setiap Insan Manusia
Berbuatlah 3 Kebaikkan pada setiap Harinya
Karena Anda adalah AGENT of CHANGES

About Me

My photo
Jakarta Pusat, jakarta
Assalamu'alaikum wr..wb... Salam Persaudaraan Muslim dari saya,Sebuah Transformasi perlu dilakukan untuk menjadi seseorang yang lebih baik dan dapat bermanfaat untuk semua pihak dengan cinta dan kasih menebarkan manfaat ke seluruh umat, sekian perkenalan dari saya, untuk lebih lanjut saya menerima untuk berdiskusi dengan kalian sebagai sahabat dalam blog ini. Salam Hangat Dari Saya Arief Tri Setiaji ^_^

My Friend Blogger

Search This Blog

Kenangan Panitia IBF

Kenangan Panitia IBF

Website Forum,Karier , Ekonomi di Perbankan,Lembaga Pemerintahan,IT Corporation & Blogger

Translate